Sidang gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh sebelas masyarakat melalui Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK), didukung oleh Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi, terhadap tiga perusahaan yang terafiliasi dari Sinar Mas yakni, PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Permai Wood Industries (SBAWI) memasuki tahap kesimpulan di Pengadilan Negeri Palembang pada Kamis (5/6/2025).
Klaim dan Pembelaan Perusahaan Ketiga perusahaan, yang bergerak di bidang pemanfaatan dan pengelolaan hutan tanaman industri, menegaskan bahwa operasional mereka telah sesuai dengan hukum.
Mereka menyebut kontribusi pajak sebesar lebih dari Rp40 miliar hingga tahun 2024 dan penyerapan tenaga kerja lokal sebanyak lebih dari 1.800 orang sebagai bukti kepatuhan hukum dan tanggung jawab sosial.
Gugatan masyarakat terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang diduga terjadi di area konsesi perusahaan pada 2015, 2019, dan 2023, menuntut ganti rugi Rp643 juta untuk kerugian materiil dan Rp110 miliar untuk kerugian immateriil akibat paparan asap.
Namun, kuasa hukum perusahaan, Armand Hasim, menyebut gugatan ini memiliki kelemahan, seperti ketiadaan bukti riil terkait kerugian individu dan ketidakjelasan lokasi kebakaran.
Ahli hukum perdata, Sutoyo, menyatakan bahwa gugatan harus merinci hubungan langsung antara sumber asap, penyebabnya, dan kerugian yang dialami.
Mantan Kepala BPBD Sumsel, Iriansyah, menambahkan bahwa fenomena El Niño dan kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan membakar menjadi faktor utama karhutla.
Ia juga menyoroti kontribusi perusahaan Sinar Mas dalam penanganan karhutla, seperti menyediakan helikopter water bombing.
“Perusahaan seperti PT BMH, BAP, dan SBAWI telah memiliki sarana lengkap untuk pemadaman karhutla dan bahkan turut membantu pemerintah, termasuk dalam pengadaan helikopter water bombing,” ungkap Iriansyah.
Ahli klimatologi Dr. Idung Risdiyanto mendukung pendapat ini dengan menegaskan peran signifikan El Niño. Ketiga perusahaan berharap putusan majelis hakim mengutamakan prinsip keadilan dan hukum.
Ketiga perusahaan menyatakan komitmennya terhadap upaya pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Selain memiliki infrastruktur lengkap, mereka secara aktif melakukan patroli, pelatihan bersama TNI/Polri, serta terlibat dalam apel siaga karhutla bersama pemerintah provinsi dan instansi terkait.
“Jika tujuan dari gugatan ini adalah untuk menjatuhkan reputasi perusahaan atau bahkan menghentikan operasional, maka dampaknya akan sangat luas, termasuk pada ribuan tenaga kerja dan kontribusi terhadap penerimaan negara,” kuasa hukum dari ketiga perusahaan, Armand Hasim.
Respons Greenpeace dan Penggugat Sementara itu, Juru kampanye Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, menegaskan bahwa gugatan masyarakat didasarkan pada bukti kuat.
Ia menyebut perusahaan berhak menyangkal, tetapi fakta persidangan telah menunjukkan dampak nyata dan kerugian warga akibat kabut asap.
“Kalau perusahaan menyangkal pasti itu hak mereka untuk menyangkal, tapi kami memiliki bukti yang cukup akurat yang sudah ditunjukkan di persidangan bahwasanya memang terdampak dan kerugian warga yang di alami warga pada saat kabut asap itu juga kita sampaikan di persidangan.
Hak mereka untuk membantah dan itu sudah terjadi ruang membantah dan membantah di forum persidangan pada saat ini kita hanya menunggu putusan majelis hakim,”kata dia.
Asep juga menjelaskan bahwa gugatan intervensi Greenpeace bertujuan untuk pemulihan ekosistem gambut dan penghentian aktivitas berbahaya, bukan untuk meminta ganti rugi finansial.
“Greenpeace masuk sebagai penggugat intervensi karena memang kepentingan Greenpeace adalah terkait dengan lingkungan, sahnya saja perusahaan tersebut menyatakan seperti itu tapi itu terbantahkan bahwasanya Greenpeace mendukung sebagai penggugat intervensi karena kita memiliki konsen terhadap lahan gambut yang khususnya sering terjadi kebakaran di momen tersebut dan memang berada wilayah konsesi perusahaan tersebut,”kata dia.
Tak hanya itu, dirinya menyebutkan hadirnya Greenpeace berdasarkan mandat dari UU yang memperbolehkan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan gugatan.
Dalam gugatan yang diminta Greenpeace adalah pemulihan dan penghentian aktivitas ketiga perusahaan itu.
“Di dalam gugatan intervensi kami tidak meminta ganti rugi karena kami tidak memiliki mandat itu di dalam UU juga tidak diperbolehkan. Kita bukan minta ganti rugi tapi menuntut perusahaan yang melakukan aktivitas berbahaya dan menimbulkan kebakaran agar dihentikan serta perusahaan yang terbukti lahan kebakaran itu merehabilitasi memperbaiki kembali. Jadi bukan Greenpeace menggugat minta uang tidak seperti itu,”kata dia.
Greenpeace meminta keputusan adil yang memberikan keadilan bagi para korban kabut asap dan memastikan pemulihan lingkungan.
“Secara keseluruhan sebenarnya berharap majelis hakim memutuskan perkara sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan kita. Tapi secara umum kita juga meminta majelis hakim untuk bertindak adil dan memutuskan berdasarkan dengan fakta-fakta yang ada dan bersifat adil dalam keputusannya dan juga memiliki rasa keadilan bagi para korban kabut asap,”kata dia.
Sidang tahap kesimpulan ini menjadi langkah akhir sebelum putusan dibacakan oleh Majelis Hakim dalam waktu dekat.