Dalam rangka melakukan riset terkait Tunggu Tubang, Komunitas Ghompok Kolektif mengadakan Lokakarya Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan pada Kamis, 16 Januari 2025 di Kedai Kawan Ngopi, Palembang.
Lokakarya ini merupakan rangkaian kegiatan program Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui Dana Indonesiana dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tahun 2025.
Agenda ini menghadirkan Eni Murdiati Akademisi UIN Raden Fatah Palembang dan Taufik Wijaya, Budayawan Sumatera Selatan.
“Harapannya, diskusi ini dapat memberikan input yang bermanfaat untuk riset film dan buku foto ‘Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang’ yang akan segerap kami garap,” kata Muhammad Tohir, Ketua Ghompok Kolektif, sekaligus koordinator program Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang: Kedaulatan Pangan Berkelanjutan.
Dalam kehidupan masyarakat Semende yang menetap dan menyebar di sejumlah wilayah di sepanjang bukit barisan [Sumatera Selatan], Tunggu Tubang bisa diartikan sebagai sebuah “jabatan” atau tanggung kepada anak tertua perempuan–untuk menjaga, mengurus dan mengelola peninggalan atau legacy puyang [nenek moyang], yakni berupa rumah, sawah, dan tebat yang tidak boleh diperjual belikan.
Taufik Wijaya, Budayawan Sumatera Selatan mengatakan, Tunggu Tubang merupakan salah satu bagian penting dalam sistem pemerintahan adat di tingkat keluarga pada masyarakat Suku Semende, yang sudah berjalan secara turun temurun.
Selain Tunggu Tubang, dalam sistem pemerintahan tersebut, dikenal juga Payung Jurai atau Meraje yang merupakan turunan anak laki-laki tertua dalam Jurai (keluarga). Payung Jurai memiliki wewenang untuk menegur, menasehati, atau memperingatkan Tunggu Tubang jika melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan adat.
“Bahkan, Tunggu Tubang dapat diganti melalui keputusan atau rapat besar para Meraje. Dinamika peran Tunggu Tubang dan Payung Jurai inilah yang mungkin telah menciptakan keseimbangan sosial dan budaya masyararakat Suku Semende selama ratusan tahun,” katanya.
Sistem pemerintahan adat ini, kata Taufik, merupakan bentuk kecerdasan para puyang masyarakat Suku Semende. Hal ini bermuara pada kedaulatan pangan berkelanjutan yang didukung oleh spirit mother earth pada sosok Tunggu Tubang.
Konsep Tunggu Tubang yang menjaga lanskap pangan [hutan, mata air, sawah, hingga tebat], bisa menjadi sebuah model atau strategi ketahanan pangan berkelanjutan. Apalagi kata Taufik, bumi akan mengalami puncak perubahan iklim di Tahun 2030.
“Dengan populasi manusia yang semakin meningkat hingga 8.025 miliar jiwa dan ditambah suhu bumi sudah mencapai 1,3derajat, maka kita perlu menggali berbagai pengetahuan lokal untuk mitigasi perubahan iklim,” kata Taufik.
Di sisi lain, Tunggu Tubang merupakan lumbung pengetahuan dan aktor penting dalam proses tranformasi pengetahuan terkait pengelolaan lanskap pangan serta alam secara arif kepada generasi muda di Semende.
“Contoh kecilnya, mereka melakukan penanaman padi satu kali dalam setahun. Semuanya hampir tidak pernah gagal [panen] dan diserang hama. Karena pada periode penanaman, para burung melakukan migrasi,” jelas Taufik.
Pengetahuan tersebut diajarkan sedari kecil oleh orangtua para Tunggu Tubang. Pemahaman menjaga lahan persawahan dan kebun juga dihubungkan dengan pemahaman dalam mempertahankan hutan dan sungai sebagai mitigasi perubahan iklim.
“Sebab, selama ini saya belum pernah mendengar di Semende itu krisis pangan, dan ini merupakan bukti pentingnya peran Tunggu Tubang yang membawa spirit ibu bumi yang mampu menghidupi semua makhluk hidup,” kata Taufik.
Akademisi Eni Murdiati mengatakan, dengan adanya berkembangnya jaman, ada banyak perubahan yang dianggap masih relevan dilakukan oleh para Tunggu Tubang. Seperti aktualisasi diri, dimana realitanya, para Tunggu Tubang banyak ditemukan sudah tidak berada di desa untuk menuntut ilmu.
“Namun, kewajibannya sebagai Tunggu Tubang tetap dilakukan. Keberlanjutan disini menjadi kata kunci,” kata Eni.
Ahmad Rizki Prabu dari Ghompok Kolektif, salah satu fotografer dokumenter yang akan terlibat dalam penggarapan buku foto Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang mengatakan, beberapa hari sebelumnya Ghompok Kolektif sudah melakukan riset lapangan ke sejumlah desa di wilayah Semende, yakni Desa Muara Tenang, Desa Palak Tanah, dan Desa Kota Agung.
“Ada banyak pola adaptasi atau inovasi yang dilakukan oleh sejumlah Tunggu Tubang salah satunya adalah menamam sayuran, kacang-kacangan, atau kopi. Semua itu merupakan bentuk inovasi atau adaptasi Tunggu Tubang dalam mempertahankan ketahanan pangan keluarga,” kata dia.
Sejumlah Tunggu Tubang di Desa Muara Tenang juga ada yang menjadi guru, namun tetap mengurus kebun atau sawah mereka.
“Hal ini tentu menarik untuk ditelusuri lebih dalam, dan kami berharap dapat menjadi pengetahuan bersama,” kata Prabu.
Muhammad Tohir menambahkan, melalui karya buku foto dan film dokumenter, Ghompok Kolektif akan berupaya meramu beragam pengetahuan yang ada pada masyarakat Semende, khususnya Tunggu Tubang.
“Baik itu pengetahuan leluhur, ataupun pengetahuan baru berupa inovasi dan adaptasi yang dilakukan masyarakat Semende dalam mempertahankan kedaulatan pangan mereka,” kata dia.